TV Online

    Warung Bebas TV Streaming

    Jadwal Sholat

    Tuesday, September 13, 2011

    sejarah timbulnya masalah teologi dalam islam

    makalah sejarah teologi Islam

    sejarah timbulnya masalah teologi dalam islam

    By : Republika Newsroom (18/5/09)

    Awalnya karena persoalan politik, lalu
    berlanjut pada masalah akidah dan takdir.


    Ketika Nabi Muhammad SAW mulai menyiarkan ajaran Islam di Makkah, kota
    ini memiliki sistem kemasyarakatan yang terletak di bawah pimpinan suku bangsa
    Quraisy. Sistem pemerintahan kala itu dijalankan melalui majelis yang anggotanya
    terdiri atas kepala-kepala suku yang dipilih menurut kekayaan dan pengaruh
    mereka dalam masyarakat.



    Tetapi, pada saat Nabi SAW diangkat sebagai pemimpin, beliau mendapat
    perlawanan dari kelompok-kelompok pedagang yang mempunyai solidaritas kuat demi
    menjaga kepentingan bisnisnya. Akhirnya, Nabi SAW bersama para pengikutnya
    terpaksa meninggalkan Makkah dan pergi (hijrah) ke Yatsrib (sekarang bernama
    Madinah) pada tahun 622 M.



    Ketika masih di Makkah, Nabi SAW hanya menjadi pemimpin agama. Setelah hijrah
    ke Madinah, beliau memegang fungsi ganda, yaitu sebagai pemimpin agama dan
    kepala pemerintahan. Di sinilah awal mula terbentuk sistem pemerintahan Islam
    pertama, yakni dengan berdirinya negara Islam Madinah.



    Ketika Nabi SAW wafat pada 632 M, daerah kekuasaan Madinah tak sebatas pada kota
    itu saja, tetapi meliputi seluruh Semenanjung Arabia. Negara Islam pada waktu
    itu, sebagaimana digambarkan oleh William Montgomery Watt dalam bukunya yang
    bertajuk Muhammad Prophet and Statesman, sudah merupakan komunitas
    berkumpulnya suku-suku bangsa Arab. Mereka menjalin persekutuan dengan Muhammad
    SAW dan masyarakat Madinah dalam berbagai bentuk.



    Sepeninggal Nabi SAW inilah timbul persoalan di Madinah, yaitu siapa pengganti
    beliau untuk mengepalai negara yang baru lahir itu. Dari sinilah, mulai
    bermunculan berbagai pandangan umat Islam. Sejarah meriwayatkan bahwa Abu Bakar
    as-Siddiq-lah yang disetujui oleh umat Islam ketika itu untuk menjadi pengganti
    Nabi SAW dalam mengepalai Madinah. Selanjutnya, Abu Bakar digantikan oleh Umar
    bin Khattab. Kemudian, Umar digantikan oleh Usman bin Affan.



    Munculnya perselisihan

    Awal kemunculan aliran dalam Islam terjadi pada saat khilafah Islamiyah
    mengalami suksesi kepemimpinan dari Usman bin Affan ke Ali bin Abi Thalib. Masa
    pemerintahan Ali merupakan era kekacauan dan awal perpecahan di kalangan umat
    Islam. Namun, bibit-bibit perpecahan itu mulai muncul pada akhir kekuasaan
    Usman.



    Di masa pemerintahan khalifah keempat ini, perang secara fisik beberapa kali
    terjadi antara pasukan Ali bin Abi Thalib melawan para penentangnya.
    Peristiwa-peristiwa ini telah menyebabkan terkoyaknya persatuan dan kesatuan
    umat. Sejarah mencatat, paling tidak, dua perang besar pada masa ini, yaitu
    Perang Jamal (Perang Unta) yang terjadi antara Ali dan Aisyah yang dibantu
    Zubair bin Awwam dan Talhah bin Ubaidillah serta Perang Siffin yang berlangsung
    antara pasukan Ali melawan tentara Muawiyah bin Abu Sufyan.



    Faktor penyulut Perang Jamal ini disebabkan oleh yang Ali tidak mau menghukum
    para pembunuh Usman. Ali sebenarnya ingin sekali menghindari perang dan
    menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun, ajakan tersebut ditolak oleh
    Aisyah, Zubair, dan Talhah. Zubair dan Talhah terbunuh ketika hendak melarikan
    diri, sedangkan Aisyah ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.



    Bersamaan dengan itu, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Ali semasa
    memerintah juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari gubernur di Damaskus,
    Muawiyah bin Abu Sufyan, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi--di
    masa pemerintahan Khalifah Usman--yang merasa kehilangan kedudukan dan
    kejayaan.



    Perselisihan yang terjadi antara Ali dan para penentangnya pun menimbulkan
    aliran-aliran keagamaan dalam Islam, seperti Syiah, Khawarij, Murjiah,
    Muktazilah, Asy'ariyah, Maturidiyah, Ahlussunah wal Jamaah, Jabbariyah, dan
    Kadariah.



    Aliran-aliran ini pada awalnya muncul sebagai akibat percaturan politik yang
    terjadi, yaitu mengenai perbedaan pandangan dalam masalah kepemimpinan dan
    kekuasaan (aspek sosial dan politik). Namun, dalam perkembangan selanjutnya,
    perselisihan yang muncul mengubah sifat-sifat yang berorientasi pada politik
    menjadi persoalan keimanan.



    ''Kelompok khawarij yang akhirnya menjadi penentang Ali mengganggap bahwa Ali
    tidak melaksanakan keputusan hukum bagi pihak yang memeranginya sebagaimana
    ajaran Alquran. Karena itu, mereka menunduh Ali kafir dan darahnya halal,''
    kata guru besar filsafat Islam, Prof Dr Mulyadi Kartanegara, kepada Republika.



    Sementara itu, kelompok yang mendukung Ali dan keturunannya (Syiah) melakukan pembelaan
    atas tuduhan itu. Dari sinilah, bermunculan berbagai macam aliran keagamaan
    dalam bidang teologi.



    Selain persoalan politik dan akidah (keimanan), muncul pula pandangan yang
    berbeda mengenai Alquran (makhluk atau kalamullah), qadha dan
    qadar, serta sebagainya.





    Sunni dan Syiah Dua Aliran Teologi yang Masih Bertahan



    Dari sekian banyak aliran kalam (teologi) yang berkembang di masa kejayaan
    peradaban Islam, seperti Syiah, Khawarij, Muktazilah, Murjiah, Kadariyah,
    Jabbariyah, Asy'ariyah, Maturudiyah, dan sebagainya, hingga saat ini hanya dua
    aliran yang masih memiliki banyak pengikut. Kedua aliran itu adalah Ahlussunnah
    wal Jamaah (biasa disebut dengan kelompok Sunni) dan Syiah.



    Penganut kedua paham ini tersebar di berbagai negara di dunia yang terdapat
    komunitas Muslim. Tak jarang, dalam satu negara Muslim, terdapat dua penganut
    aliran ini.



    Secara statistik, jumlah Muslim yang menganut paham Sunni jauh lebih banyak
    dibandingkan yang menganut paham Syiah. Wikipedia menyebutkan, sekitar
    90 persen umat Muslim di dunia merupakan kaum Sunni dan sekitar 10 persen
    menganut aliran Syiah.



    Namun, sumber lain menyebutkan, paham Syiah dianut oleh sekitar 20 persen umat
    Islam. Sementara itu, penganut Islam Sunni diikuti lebih dari 70 persen.
    Rujukan lain menyebutkan, penganut Islam Sunni sebanyak 85 persen dan Syiah 15
    persen.



    Kendati jumlahnya tak lebih dari 20 persen, penganut Syiah ini tersebar hampir
    di seluruh dunia. Yang terbesar ada di Iran dan Irak, kemudian sedikit di
    Afghanistan, Pakistan, India, Lebanon, Arab Saudi, Bahrain, Kuwait, beberapa
    negara pecahan Uni Soviet, beberapa negara di Eropa, dan sebagian di Amerika
    Serikat.



    Seperti halnya Syiah, paham Sunni juga dianut oleh umat Islam di negara-negara
    tersebut. Tetapi, itu dalam komposisi yang berbeda-beda antara satu negara dan
    negara yang lain. Paham Sunni dianut lebih banyak umat, termasuk di Indonesia.



    Di Iran yang mayoritas penduduknya adalah Muslim, 90 persen merupakan penganut
    Syiah dan hanya delapan persen yang menganut aliran Ahlusunah Waljamaah. Karena
    jumlahnya mayoritas, paham Syiah tidak hanya diperhitungkan sebagai aliran
    teologi, tetapi juga sebagai gerakan politik di Iran.



    Di Irak, 60 persen penduduk Muslimnya menganut paham Syiah dan 40 persen
    merupakan Sunni. Namun, ada juga yang menyebutkan, penganut Islam Syiah di
    negeri 'Seribu Satu Malam' ini berkisar 60-65 persen dan penganut Suni 32-37
    persen. Para penganut Syiah di Irak merupakan orang dari
    suku Arab. Sementara itu, penganut Islam Sunni adalah mereka yang berasal dari
    suku Arab, Kurdi, dan Turkmen.



    Di negara Muslim lainnya, seperti Afghanistan, jumlah Muslim Sunni mencapai 80
    persen, Syiah 19 persen, dan penganut agama lainnya satu persen. Di Sudan, 70
    persen penduduknya merupakan penganut Islam Sunni yang mayoritas bermukim di
    wilayah utara Sudan.
    Di Mesir, 90 persen penduduknya adalah penganut Islam yang mayoritas beraliran
    Suni. Sementara itu, sisanya menganut ajaran sufi lokal.



    Sedangkan, masyarakat Muslim di Lebanon, selain menganut paham Sunni dan Syiah,
    juga menganut paham Druze. Namun, dari 59 persen penduduk Lebanon
    yang beragama Islam, tidak diketahui secara pasti berapa komposisi penganut
    paham Sunni, Syiah, dan Druze.



    Berbagai sumber yang ada menyebutkan bahwa komunitas Suku Kurdi (kurang dari
    satu persen) yang bermukim di Lebanon,
    termasuk dalam kelompok Sunni. Jumlah mereka diperkirakan antara 75 ribu hingga
    100 ribu orang. Selain itu, ada pula ribuan Suku Beduin Arab yang tinggal di
    wilayah Bekaa dan Wadi Khaled, yang semuanya itu menganut paham Sunni.



    Kendati demikian, di beberapa negara Muslim yang mayoritas menganut paham
    Sunni, seperti Indonesia dan Malaysia, penganut Syiah nyaris tidak
    diperhitungkan, baik sebagai aliran teologi maupun gerakan politik.





    Siapa Ahlus Sunnah wal Jamaah?



    Ketika membicarakan aliran-aliran teologi dalam Islam, ada sebuah hadis Nabi
    SAW yang selalu diutarakan, ''Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Satu di
    antaranya yang selamat, sedangkan lainnya menjadi golongan yang rusak. Beliau
    ditanya, siapa golongan yang selamat itu? Beliau menjawab Ahlus Sunnah wal
    Jama'ah.'' (Hadis riwayat Abu Daud, at-Tirmidzi, al-Hakim, dan Ahmad).



    Banyak ulama berpendapat, Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah mereka yang mengikuti
    semua yang berasal dari Nabi SAW, baik perkataan, perbuatan, pengakuan, maupun
    hal-hal lain yang dikaitkan dengan pribadi Rasulullah SAW. Itu sebabnya aliran
    ini disebut juga Ahlul Hadis was Sunnah (golongan yang berpegang pada hadis dan
    sunah).



    Siapa dan kelompok manakah yang masuk dalam kategori Ahlus Sunnah wal Jamaah itu?
    Mayoritas umat Islam mengaku mempraktikkan sunah-sunah Nabi SAW, namun secara
    ideologi dan emosional terikat dengan aliran-aliran yang berbeda.



    Untuk menjawab pertanyaan di atas, secara definitif tidaklah mudah. Ada
    aspek-aspek yang mesti dilihat sebelum menggolongkan kelompok tertentu sebagai
    Ahlus Sunnah atau bukan. Aspek-aspek yang dimaksud adalah sejarah, sosial,
    budaya, dan politik.



    Mengenai hal ini, ada beberapa alasan. Pertama, ajaran Islam mampu mengubah
    lingkungan sosial dan budaya yang berimplikasi pada perubahan pandangan hidup
    masyarakatnya. Kedua, dalam proses perubahan dari kondisi lama pada kondisi
    baru, terjadi penghayatan terhadap ajaran Islam yang dipengaruhi oleh keadaan
    sosial budaya setempat. Setiap masyarakat akan menghayati dan merespons ajaran
    Islam dengan cara yang berbeda karena mereka berada di suatu masa dan
    lingkungan yang tidak sama.



    Itulah mengapa ada Asy'ariyah yang berkembang di Irak, Maturidiyah di
    Samarkand, dan Thohawiyah di Mesir. Ketiganya dianggap sebagai Ahlus Sunnah wal
    Jama'ah. Pada awalnya, aliran-aliran tersebut muncul untuk merespons realitas
    yang sedang dihadapi umat Islam. Ketika itu, ide-ide yang ditawarkan ulama
    besar adalah cara pandang baru tentang kehidupan beragama, bukan menawarkan
    aliran teologi baru.



    Sejarah mencatat, munculnya Asy'ariyah adalah respons terhadap kebijakan
    penguasa Dinasti Abbasiyah yang menjadikan Muktazilah sebagai aliran resmi
    pemerintah. Pengaruh paham Muktazilah mencapai puncaknya pada masa Khalifah
    Al-Ma'mun (198-218 H/813-833 M), Al-Mu'tasim (218-228 H/833-842 M), dan
    Al-Wasiq (228-233 H/842-847 M).



    Muktazilah terkenal mengagungkan rasionalitas yang sulit diterima oleh
    masyarakat awam. Kemudian, Asy'ariyah muncul menawarkan cara pandang baru yang
    lebih sederhana dan membumi. Doktrin-doktrinnya didasarkan pada sunah-sunah
    Nabi SAW dan tradisi para sahabat.



    Sebagai sebuah cara pandang, perbedaan dalam tubuh Asy'ariah pun muncul.
    Muhammad Tholhah Hasan dalam bukunya Wawasan Umum Ahlus Sunnah wal Jamaah
    menulis bahwa dalam Asy'ariyah, terdapat perbedaan-perbedaan visi.



    Visi Abu al-Hasan al-Asy'ari (imam Asy'ariyah) tidak sama dengan
    murid-muridnya, seperti Al-Baqillani, Al-Juwaini, Al-Ghozali, dan As-Sanusi.
    Padahal, mereka mengklaim dirinya penganut Asy'ari. Demikian pula dalam mazhab
    fikih, terdapat perbedaan pandangan dan fatwa antara Imam Syafi'i dan
    pengikut-pengikutnya, seperti An-Nawawi, Ar-Rofi'i, Al-Buthi, Al-Qoffal, dan
    lain-lain.



    Dari manhaj menjadi mazhab

    Dalam perjalanan sejarahnya, Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak berhenti pada manhaj
    al-fikr
    (cara pandang) semata, tetapi menjelma menjadi firqoh
    (kelompok) yang terorganisasi. Dikatakan demikian karena Ahlus Sunnah wal
    Jamaah membentuk suatu doktrin dan mempunyai pengikut yang tetap. Jika
    seseorang mengaku sebagai pengikut Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang bersangkutan
    harus punya ciri-ciri tertentu dalam keyakinan, sikap, dan perilaku.



    Ciri-ciri itu kemudian menjadi pembeda antara penganut Ahlus Sunnah dan
    penganut aliran teologi lainnya. Masalah menjadi lebih rumit tatkala
    aliran-aliran teologi Ahlus Sunnah wal Jamaah sendiri punya karakter dan
    cirinya sendiri-sendiri.



    Ada pengikut Ahlus Sunnah wal
    Jamaah yang disebut Ahlul Atsar, yaitu mereka yang mengikuti Imam Ahmad bin
    Hambal. Mayoritas kelompok ini mengikuti pandangan-pandangan Ibnu Taimiyah dan
    Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah. Ada
    yang disebut Al-Asya'iroh, yang sekarang menjadi umat Muslim mayoritas di
    beberapa negara, termasuk Indonesia.
    Ada pula kelompok Ahlus Sunnah ala
    Al-Maturidiyah yang terkenal dengan penggunaan rasionalitasnya.



    Jika ada orang yang mencari-cari manakah di antara ketiga aliran di atas yang
    paling benar, jawabannya tergantung dari aliran manakah orang tersebut berasal.
    Jika ia orang Indonesia,
    mungkin akan menjawab Al-Asya'iroh-lah yang paling absah sebagai Ahlus Sunnah
    wal Jamaah.



    Akan tetapi, lebih arif jika umat Islam menyikapi perbedaan itu sebagai rahmat
    Allah SWT. Mari, kita biarkan perbedaan-perbedaan aliran teologi dalam Islam
    laksana warna-warni bunga yang mekar di tengah taman. Bukankah sebuah taman
    jauh lebih indah jika ditumbuhi aneka bunga dibandingkan taman yang hanya
    memiliki satu macam bunga? Tidak ada kebenaran, kecuali Allah SWT. dia/rid/sya/