1. Beriman kepada Allah Ta'ala
2. Beriman kepada Para Malaikat
3. Beriman kepada Kitab-Kitab Allah Ta'ala
4. Beriman kepada Rasul-Rasul
5. Beriman kepada Hari Akhir
6. Beriman kepada Qadha' dan Qadar
Jadwal Sholat
Friday, September 23, 2011
Thursday, September 15, 2011
Wednesday, September 14, 2011
Tuesday, September 13, 2011
sejarah timbulnya masalah teologi dalam islam
By : Republika Newsroom (18/5/09)
Awalnya karena persoalan politik, lalu
berlanjut pada masalah akidah dan takdir.
Ketika Nabi Muhammad SAW mulai menyiarkan ajaran Islam di Makkah, kota
ini memiliki sistem kemasyarakatan yang terletak di bawah pimpinan suku bangsa
Quraisy. Sistem pemerintahan kala itu dijalankan melalui majelis yang anggotanya
terdiri atas kepala-kepala suku yang dipilih menurut kekayaan dan pengaruh
mereka dalam masyarakat.
Tetapi, pada saat Nabi SAW diangkat sebagai pemimpin, beliau mendapat
perlawanan dari kelompok-kelompok pedagang yang mempunyai solidaritas kuat demi
menjaga kepentingan bisnisnya. Akhirnya, Nabi SAW bersama para pengikutnya
terpaksa meninggalkan Makkah dan pergi (hijrah) ke Yatsrib (sekarang bernama
Madinah) pada tahun 622 M.
Ketika masih di Makkah, Nabi SAW hanya menjadi pemimpin agama. Setelah hijrah
ke Madinah, beliau memegang fungsi ganda, yaitu sebagai pemimpin agama dan
kepala pemerintahan. Di sinilah awal mula terbentuk sistem pemerintahan Islam
pertama, yakni dengan berdirinya negara Islam Madinah.
Ketika Nabi SAW wafat pada 632 M, daerah kekuasaan Madinah tak sebatas pada kota
itu saja, tetapi meliputi seluruh Semenanjung Arabia. Negara Islam pada waktu
itu, sebagaimana digambarkan oleh William Montgomery Watt dalam bukunya yang
bertajuk Muhammad Prophet and Statesman, sudah merupakan komunitas
berkumpulnya suku-suku bangsa Arab. Mereka menjalin persekutuan dengan Muhammad
SAW dan masyarakat Madinah dalam berbagai bentuk.
Sepeninggal Nabi SAW inilah timbul persoalan di Madinah, yaitu siapa pengganti
beliau untuk mengepalai negara yang baru lahir itu. Dari sinilah, mulai
bermunculan berbagai pandangan umat Islam. Sejarah meriwayatkan bahwa Abu Bakar
as-Siddiq-lah yang disetujui oleh umat Islam ketika itu untuk menjadi pengganti
Nabi SAW dalam mengepalai Madinah. Selanjutnya, Abu Bakar digantikan oleh Umar
bin Khattab. Kemudian, Umar digantikan oleh Usman bin Affan.
Munculnya perselisihan
Awal kemunculan aliran dalam Islam terjadi pada saat khilafah Islamiyah
mengalami suksesi kepemimpinan dari Usman bin Affan ke Ali bin Abi Thalib. Masa
pemerintahan Ali merupakan era kekacauan dan awal perpecahan di kalangan umat
Islam. Namun, bibit-bibit perpecahan itu mulai muncul pada akhir kekuasaan
Usman.
Di masa pemerintahan khalifah keempat ini, perang secara fisik beberapa kali
terjadi antara pasukan Ali bin Abi Thalib melawan para penentangnya.
Peristiwa-peristiwa ini telah menyebabkan terkoyaknya persatuan dan kesatuan
umat. Sejarah mencatat, paling tidak, dua perang besar pada masa ini, yaitu
Perang Jamal (Perang Unta) yang terjadi antara Ali dan Aisyah yang dibantu
Zubair bin Awwam dan Talhah bin Ubaidillah serta Perang Siffin yang berlangsung
antara pasukan Ali melawan tentara Muawiyah bin Abu Sufyan.
Faktor penyulut Perang Jamal ini disebabkan oleh yang Ali tidak mau menghukum
para pembunuh Usman. Ali sebenarnya ingin sekali menghindari perang dan
menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun, ajakan tersebut ditolak oleh
Aisyah, Zubair, dan Talhah. Zubair dan Talhah terbunuh ketika hendak melarikan
diri, sedangkan Aisyah ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.
Bersamaan dengan itu, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Ali semasa
memerintah juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari gubernur di Damaskus,
Muawiyah bin Abu Sufyan, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi--di
masa pemerintahan Khalifah Usman--yang merasa kehilangan kedudukan dan
kejayaan.
Perselisihan yang terjadi antara Ali dan para penentangnya pun menimbulkan
aliran-aliran keagamaan dalam Islam, seperti Syiah, Khawarij, Murjiah,
Muktazilah, Asy'ariyah, Maturidiyah, Ahlussunah wal Jamaah, Jabbariyah, dan
Kadariah.
Aliran-aliran ini pada awalnya muncul sebagai akibat percaturan politik yang
terjadi, yaitu mengenai perbedaan pandangan dalam masalah kepemimpinan dan
kekuasaan (aspek sosial dan politik). Namun, dalam perkembangan selanjutnya,
perselisihan yang muncul mengubah sifat-sifat yang berorientasi pada politik
menjadi persoalan keimanan.
''Kelompok khawarij yang akhirnya menjadi penentang Ali mengganggap bahwa Ali
tidak melaksanakan keputusan hukum bagi pihak yang memeranginya sebagaimana
ajaran Alquran. Karena itu, mereka menunduh Ali kafir dan darahnya halal,''
kata guru besar filsafat Islam, Prof Dr Mulyadi Kartanegara, kepada Republika.
Sementara itu, kelompok yang mendukung Ali dan keturunannya (Syiah) melakukan pembelaan
atas tuduhan itu. Dari sinilah, bermunculan berbagai macam aliran keagamaan
dalam bidang teologi.
Selain persoalan politik dan akidah (keimanan), muncul pula pandangan yang
berbeda mengenai Alquran (makhluk atau kalamullah), qadha dan
qadar, serta sebagainya.
Sunni dan Syiah Dua Aliran Teologi yang Masih Bertahan
Dari sekian banyak aliran kalam (teologi) yang berkembang di masa kejayaan
peradaban Islam, seperti Syiah, Khawarij, Muktazilah, Murjiah, Kadariyah,
Jabbariyah, Asy'ariyah, Maturudiyah, dan sebagainya, hingga saat ini hanya dua
aliran yang masih memiliki banyak pengikut. Kedua aliran itu adalah Ahlussunnah
wal Jamaah (biasa disebut dengan kelompok Sunni) dan Syiah.
Penganut kedua paham ini tersebar di berbagai negara di dunia yang terdapat
komunitas Muslim. Tak jarang, dalam satu negara Muslim, terdapat dua penganut
aliran ini.
Secara statistik, jumlah Muslim yang menganut paham Sunni jauh lebih banyak
dibandingkan yang menganut paham Syiah. Wikipedia menyebutkan, sekitar
90 persen umat Muslim di dunia merupakan kaum Sunni dan sekitar 10 persen
menganut aliran Syiah.
Namun, sumber lain menyebutkan, paham Syiah dianut oleh sekitar 20 persen umat
Islam. Sementara itu, penganut Islam Sunni diikuti lebih dari 70 persen.
Rujukan lain menyebutkan, penganut Islam Sunni sebanyak 85 persen dan Syiah 15
persen.
Kendati jumlahnya tak lebih dari 20 persen, penganut Syiah ini tersebar hampir
di seluruh dunia. Yang terbesar ada di Iran dan Irak, kemudian sedikit di
Afghanistan, Pakistan, India, Lebanon, Arab Saudi, Bahrain, Kuwait, beberapa
negara pecahan Uni Soviet, beberapa negara di Eropa, dan sebagian di Amerika
Serikat.
Seperti halnya Syiah, paham Sunni juga dianut oleh umat Islam di negara-negara
tersebut. Tetapi, itu dalam komposisi yang berbeda-beda antara satu negara dan
negara yang lain. Paham Sunni dianut lebih banyak umat, termasuk di Indonesia.
Di Iran yang mayoritas penduduknya adalah Muslim, 90 persen merupakan penganut
Syiah dan hanya delapan persen yang menganut aliran Ahlusunah Waljamaah. Karena
jumlahnya mayoritas, paham Syiah tidak hanya diperhitungkan sebagai aliran
teologi, tetapi juga sebagai gerakan politik di Iran.
Di Irak, 60 persen penduduk Muslimnya menganut paham Syiah dan 40 persen
merupakan Sunni. Namun, ada juga yang menyebutkan, penganut Islam Syiah di
negeri 'Seribu Satu Malam' ini berkisar 60-65 persen dan penganut Suni 32-37
persen. Para penganut Syiah di Irak merupakan orang dari
suku Arab. Sementara itu, penganut Islam Sunni adalah mereka yang berasal dari
suku Arab, Kurdi, dan Turkmen.
Di negara Muslim lainnya, seperti Afghanistan, jumlah Muslim Sunni mencapai 80
persen, Syiah 19 persen, dan penganut agama lainnya satu persen. Di Sudan, 70
persen penduduknya merupakan penganut Islam Sunni yang mayoritas bermukim di
wilayah utara Sudan.
Di Mesir, 90 persen penduduknya adalah penganut Islam yang mayoritas beraliran
Suni. Sementara itu, sisanya menganut ajaran sufi lokal.
Sedangkan, masyarakat Muslim di Lebanon, selain menganut paham Sunni dan Syiah,
juga menganut paham Druze. Namun, dari 59 persen penduduk Lebanon
yang beragama Islam, tidak diketahui secara pasti berapa komposisi penganut
paham Sunni, Syiah, dan Druze.
Berbagai sumber yang ada menyebutkan bahwa komunitas Suku Kurdi (kurang dari
satu persen) yang bermukim di Lebanon,
termasuk dalam kelompok Sunni. Jumlah mereka diperkirakan antara 75 ribu hingga
100 ribu orang. Selain itu, ada pula ribuan Suku Beduin Arab yang tinggal di
wilayah Bekaa dan Wadi Khaled, yang semuanya itu menganut paham Sunni.
Kendati demikian, di beberapa negara Muslim yang mayoritas menganut paham
Sunni, seperti Indonesia dan Malaysia, penganut Syiah nyaris tidak
diperhitungkan, baik sebagai aliran teologi maupun gerakan politik.
Siapa Ahlus Sunnah wal Jamaah?
Ketika membicarakan aliran-aliran teologi dalam Islam, ada sebuah hadis Nabi
SAW yang selalu diutarakan, ''Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Satu di
antaranya yang selamat, sedangkan lainnya menjadi golongan yang rusak. Beliau
ditanya, siapa golongan yang selamat itu? Beliau menjawab Ahlus Sunnah wal
Jama'ah.'' (Hadis riwayat Abu Daud, at-Tirmidzi, al-Hakim, dan Ahmad).
Banyak ulama berpendapat, Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah mereka yang mengikuti
semua yang berasal dari Nabi SAW, baik perkataan, perbuatan, pengakuan, maupun
hal-hal lain yang dikaitkan dengan pribadi Rasulullah SAW. Itu sebabnya aliran
ini disebut juga Ahlul Hadis was Sunnah (golongan yang berpegang pada hadis dan
sunah).
Siapa dan kelompok manakah yang masuk dalam kategori Ahlus Sunnah wal Jamaah itu?
Mayoritas umat Islam mengaku mempraktikkan sunah-sunah Nabi SAW, namun secara
ideologi dan emosional terikat dengan aliran-aliran yang berbeda.
Untuk menjawab pertanyaan di atas, secara definitif tidaklah mudah. Ada
aspek-aspek yang mesti dilihat sebelum menggolongkan kelompok tertentu sebagai
Ahlus Sunnah atau bukan. Aspek-aspek yang dimaksud adalah sejarah, sosial,
budaya, dan politik.
Mengenai hal ini, ada beberapa alasan. Pertama, ajaran Islam mampu mengubah
lingkungan sosial dan budaya yang berimplikasi pada perubahan pandangan hidup
masyarakatnya. Kedua, dalam proses perubahan dari kondisi lama pada kondisi
baru, terjadi penghayatan terhadap ajaran Islam yang dipengaruhi oleh keadaan
sosial budaya setempat. Setiap masyarakat akan menghayati dan merespons ajaran
Islam dengan cara yang berbeda karena mereka berada di suatu masa dan
lingkungan yang tidak sama.
Itulah mengapa ada Asy'ariyah yang berkembang di Irak, Maturidiyah di
Samarkand, dan Thohawiyah di Mesir. Ketiganya dianggap sebagai Ahlus Sunnah wal
Jama'ah. Pada awalnya, aliran-aliran tersebut muncul untuk merespons realitas
yang sedang dihadapi umat Islam. Ketika itu, ide-ide yang ditawarkan ulama
besar adalah cara pandang baru tentang kehidupan beragama, bukan menawarkan
aliran teologi baru.
Sejarah mencatat, munculnya Asy'ariyah adalah respons terhadap kebijakan
penguasa Dinasti Abbasiyah yang menjadikan Muktazilah sebagai aliran resmi
pemerintah. Pengaruh paham Muktazilah mencapai puncaknya pada masa Khalifah
Al-Ma'mun (198-218 H/813-833 M), Al-Mu'tasim (218-228 H/833-842 M), dan
Al-Wasiq (228-233 H/842-847 M).
Muktazilah terkenal mengagungkan rasionalitas yang sulit diterima oleh
masyarakat awam. Kemudian, Asy'ariyah muncul menawarkan cara pandang baru yang
lebih sederhana dan membumi. Doktrin-doktrinnya didasarkan pada sunah-sunah
Nabi SAW dan tradisi para sahabat.
Sebagai sebuah cara pandang, perbedaan dalam tubuh Asy'ariah pun muncul.
Muhammad Tholhah Hasan dalam bukunya Wawasan Umum Ahlus Sunnah wal Jamaah
menulis bahwa dalam Asy'ariyah, terdapat perbedaan-perbedaan visi.
Visi Abu al-Hasan al-Asy'ari (imam Asy'ariyah) tidak sama dengan
murid-muridnya, seperti Al-Baqillani, Al-Juwaini, Al-Ghozali, dan As-Sanusi.
Padahal, mereka mengklaim dirinya penganut Asy'ari. Demikian pula dalam mazhab
fikih, terdapat perbedaan pandangan dan fatwa antara Imam Syafi'i dan
pengikut-pengikutnya, seperti An-Nawawi, Ar-Rofi'i, Al-Buthi, Al-Qoffal, dan
lain-lain.
Dari manhaj menjadi mazhab
Dalam perjalanan sejarahnya, Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak berhenti pada manhaj
al-fikr (cara pandang) semata, tetapi menjelma menjadi firqoh
(kelompok) yang terorganisasi. Dikatakan demikian karena Ahlus Sunnah wal
Jamaah membentuk suatu doktrin dan mempunyai pengikut yang tetap. Jika
seseorang mengaku sebagai pengikut Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang bersangkutan
harus punya ciri-ciri tertentu dalam keyakinan, sikap, dan perilaku.
Ciri-ciri itu kemudian menjadi pembeda antara penganut Ahlus Sunnah dan
penganut aliran teologi lainnya. Masalah menjadi lebih rumit tatkala
aliran-aliran teologi Ahlus Sunnah wal Jamaah sendiri punya karakter dan
cirinya sendiri-sendiri.
Ada pengikut Ahlus Sunnah wal
Jamaah yang disebut Ahlul Atsar, yaitu mereka yang mengikuti Imam Ahmad bin
Hambal. Mayoritas kelompok ini mengikuti pandangan-pandangan Ibnu Taimiyah dan
Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah. Ada
yang disebut Al-Asya'iroh, yang sekarang menjadi umat Muslim mayoritas di
beberapa negara, termasuk Indonesia.
Ada pula kelompok Ahlus Sunnah ala
Al-Maturidiyah yang terkenal dengan penggunaan rasionalitasnya.
Jika ada orang yang mencari-cari manakah di antara ketiga aliran di atas yang
paling benar, jawabannya tergantung dari aliran manakah orang tersebut berasal.
Jika ia orang Indonesia,
mungkin akan menjawab Al-Asya'iroh-lah yang paling absah sebagai Ahlus Sunnah
wal Jamaah.
Akan tetapi, lebih arif jika umat Islam menyikapi perbedaan itu sebagai rahmat
Allah SWT. Mari, kita biarkan perbedaan-perbedaan aliran teologi dalam Islam
laksana warna-warni bunga yang mekar di tengah taman. Bukankah sebuah taman
jauh lebih indah jika ditumbuhi aneka bunga dibandingkan taman yang hanya
memiliki satu macam bunga? Tidak ada kebenaran, kecuali Allah SWT. dia/rid/sya/
Awalnya karena persoalan politik, lalu
berlanjut pada masalah akidah dan takdir.
Ketika Nabi Muhammad SAW mulai menyiarkan ajaran Islam di Makkah, kota
ini memiliki sistem kemasyarakatan yang terletak di bawah pimpinan suku bangsa
Quraisy. Sistem pemerintahan kala itu dijalankan melalui majelis yang anggotanya
terdiri atas kepala-kepala suku yang dipilih menurut kekayaan dan pengaruh
mereka dalam masyarakat.
Tetapi, pada saat Nabi SAW diangkat sebagai pemimpin, beliau mendapat
perlawanan dari kelompok-kelompok pedagang yang mempunyai solidaritas kuat demi
menjaga kepentingan bisnisnya. Akhirnya, Nabi SAW bersama para pengikutnya
terpaksa meninggalkan Makkah dan pergi (hijrah) ke Yatsrib (sekarang bernama
Madinah) pada tahun 622 M.
Ketika masih di Makkah, Nabi SAW hanya menjadi pemimpin agama. Setelah hijrah
ke Madinah, beliau memegang fungsi ganda, yaitu sebagai pemimpin agama dan
kepala pemerintahan. Di sinilah awal mula terbentuk sistem pemerintahan Islam
pertama, yakni dengan berdirinya negara Islam Madinah.
Ketika Nabi SAW wafat pada 632 M, daerah kekuasaan Madinah tak sebatas pada kota
itu saja, tetapi meliputi seluruh Semenanjung Arabia. Negara Islam pada waktu
itu, sebagaimana digambarkan oleh William Montgomery Watt dalam bukunya yang
bertajuk Muhammad Prophet and Statesman, sudah merupakan komunitas
berkumpulnya suku-suku bangsa Arab. Mereka menjalin persekutuan dengan Muhammad
SAW dan masyarakat Madinah dalam berbagai bentuk.
Sepeninggal Nabi SAW inilah timbul persoalan di Madinah, yaitu siapa pengganti
beliau untuk mengepalai negara yang baru lahir itu. Dari sinilah, mulai
bermunculan berbagai pandangan umat Islam. Sejarah meriwayatkan bahwa Abu Bakar
as-Siddiq-lah yang disetujui oleh umat Islam ketika itu untuk menjadi pengganti
Nabi SAW dalam mengepalai Madinah. Selanjutnya, Abu Bakar digantikan oleh Umar
bin Khattab. Kemudian, Umar digantikan oleh Usman bin Affan.
Munculnya perselisihan
Awal kemunculan aliran dalam Islam terjadi pada saat khilafah Islamiyah
mengalami suksesi kepemimpinan dari Usman bin Affan ke Ali bin Abi Thalib. Masa
pemerintahan Ali merupakan era kekacauan dan awal perpecahan di kalangan umat
Islam. Namun, bibit-bibit perpecahan itu mulai muncul pada akhir kekuasaan
Usman.
Di masa pemerintahan khalifah keempat ini, perang secara fisik beberapa kali
terjadi antara pasukan Ali bin Abi Thalib melawan para penentangnya.
Peristiwa-peristiwa ini telah menyebabkan terkoyaknya persatuan dan kesatuan
umat. Sejarah mencatat, paling tidak, dua perang besar pada masa ini, yaitu
Perang Jamal (Perang Unta) yang terjadi antara Ali dan Aisyah yang dibantu
Zubair bin Awwam dan Talhah bin Ubaidillah serta Perang Siffin yang berlangsung
antara pasukan Ali melawan tentara Muawiyah bin Abu Sufyan.
Faktor penyulut Perang Jamal ini disebabkan oleh yang Ali tidak mau menghukum
para pembunuh Usman. Ali sebenarnya ingin sekali menghindari perang dan
menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun, ajakan tersebut ditolak oleh
Aisyah, Zubair, dan Talhah. Zubair dan Talhah terbunuh ketika hendak melarikan
diri, sedangkan Aisyah ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.
Bersamaan dengan itu, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Ali semasa
memerintah juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari gubernur di Damaskus,
Muawiyah bin Abu Sufyan, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi--di
masa pemerintahan Khalifah Usman--yang merasa kehilangan kedudukan dan
kejayaan.
Perselisihan yang terjadi antara Ali dan para penentangnya pun menimbulkan
aliran-aliran keagamaan dalam Islam, seperti Syiah, Khawarij, Murjiah,
Muktazilah, Asy'ariyah, Maturidiyah, Ahlussunah wal Jamaah, Jabbariyah, dan
Kadariah.
Aliran-aliran ini pada awalnya muncul sebagai akibat percaturan politik yang
terjadi, yaitu mengenai perbedaan pandangan dalam masalah kepemimpinan dan
kekuasaan (aspek sosial dan politik). Namun, dalam perkembangan selanjutnya,
perselisihan yang muncul mengubah sifat-sifat yang berorientasi pada politik
menjadi persoalan keimanan.
''Kelompok khawarij yang akhirnya menjadi penentang Ali mengganggap bahwa Ali
tidak melaksanakan keputusan hukum bagi pihak yang memeranginya sebagaimana
ajaran Alquran. Karena itu, mereka menunduh Ali kafir dan darahnya halal,''
kata guru besar filsafat Islam, Prof Dr Mulyadi Kartanegara, kepada Republika.
Sementara itu, kelompok yang mendukung Ali dan keturunannya (Syiah) melakukan pembelaan
atas tuduhan itu. Dari sinilah, bermunculan berbagai macam aliran keagamaan
dalam bidang teologi.
Selain persoalan politik dan akidah (keimanan), muncul pula pandangan yang
berbeda mengenai Alquran (makhluk atau kalamullah), qadha dan
qadar, serta sebagainya.
Sunni dan Syiah Dua Aliran Teologi yang Masih Bertahan
Dari sekian banyak aliran kalam (teologi) yang berkembang di masa kejayaan
peradaban Islam, seperti Syiah, Khawarij, Muktazilah, Murjiah, Kadariyah,
Jabbariyah, Asy'ariyah, Maturudiyah, dan sebagainya, hingga saat ini hanya dua
aliran yang masih memiliki banyak pengikut. Kedua aliran itu adalah Ahlussunnah
wal Jamaah (biasa disebut dengan kelompok Sunni) dan Syiah.
Penganut kedua paham ini tersebar di berbagai negara di dunia yang terdapat
komunitas Muslim. Tak jarang, dalam satu negara Muslim, terdapat dua penganut
aliran ini.
Secara statistik, jumlah Muslim yang menganut paham Sunni jauh lebih banyak
dibandingkan yang menganut paham Syiah. Wikipedia menyebutkan, sekitar
90 persen umat Muslim di dunia merupakan kaum Sunni dan sekitar 10 persen
menganut aliran Syiah.
Namun, sumber lain menyebutkan, paham Syiah dianut oleh sekitar 20 persen umat
Islam. Sementara itu, penganut Islam Sunni diikuti lebih dari 70 persen.
Rujukan lain menyebutkan, penganut Islam Sunni sebanyak 85 persen dan Syiah 15
persen.
Kendati jumlahnya tak lebih dari 20 persen, penganut Syiah ini tersebar hampir
di seluruh dunia. Yang terbesar ada di Iran dan Irak, kemudian sedikit di
Afghanistan, Pakistan, India, Lebanon, Arab Saudi, Bahrain, Kuwait, beberapa
negara pecahan Uni Soviet, beberapa negara di Eropa, dan sebagian di Amerika
Serikat.
Seperti halnya Syiah, paham Sunni juga dianut oleh umat Islam di negara-negara
tersebut. Tetapi, itu dalam komposisi yang berbeda-beda antara satu negara dan
negara yang lain. Paham Sunni dianut lebih banyak umat, termasuk di Indonesia.
Di Iran yang mayoritas penduduknya adalah Muslim, 90 persen merupakan penganut
Syiah dan hanya delapan persen yang menganut aliran Ahlusunah Waljamaah. Karena
jumlahnya mayoritas, paham Syiah tidak hanya diperhitungkan sebagai aliran
teologi, tetapi juga sebagai gerakan politik di Iran.
Di Irak, 60 persen penduduk Muslimnya menganut paham Syiah dan 40 persen
merupakan Sunni. Namun, ada juga yang menyebutkan, penganut Islam Syiah di
negeri 'Seribu Satu Malam' ini berkisar 60-65 persen dan penganut Suni 32-37
persen. Para penganut Syiah di Irak merupakan orang dari
suku Arab. Sementara itu, penganut Islam Sunni adalah mereka yang berasal dari
suku Arab, Kurdi, dan Turkmen.
Di negara Muslim lainnya, seperti Afghanistan, jumlah Muslim Sunni mencapai 80
persen, Syiah 19 persen, dan penganut agama lainnya satu persen. Di Sudan, 70
persen penduduknya merupakan penganut Islam Sunni yang mayoritas bermukim di
wilayah utara Sudan.
Di Mesir, 90 persen penduduknya adalah penganut Islam yang mayoritas beraliran
Suni. Sementara itu, sisanya menganut ajaran sufi lokal.
Sedangkan, masyarakat Muslim di Lebanon, selain menganut paham Sunni dan Syiah,
juga menganut paham Druze. Namun, dari 59 persen penduduk Lebanon
yang beragama Islam, tidak diketahui secara pasti berapa komposisi penganut
paham Sunni, Syiah, dan Druze.
Berbagai sumber yang ada menyebutkan bahwa komunitas Suku Kurdi (kurang dari
satu persen) yang bermukim di Lebanon,
termasuk dalam kelompok Sunni. Jumlah mereka diperkirakan antara 75 ribu hingga
100 ribu orang. Selain itu, ada pula ribuan Suku Beduin Arab yang tinggal di
wilayah Bekaa dan Wadi Khaled, yang semuanya itu menganut paham Sunni.
Kendati demikian, di beberapa negara Muslim yang mayoritas menganut paham
Sunni, seperti Indonesia dan Malaysia, penganut Syiah nyaris tidak
diperhitungkan, baik sebagai aliran teologi maupun gerakan politik.
Siapa Ahlus Sunnah wal Jamaah?
Ketika membicarakan aliran-aliran teologi dalam Islam, ada sebuah hadis Nabi
SAW yang selalu diutarakan, ''Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Satu di
antaranya yang selamat, sedangkan lainnya menjadi golongan yang rusak. Beliau
ditanya, siapa golongan yang selamat itu? Beliau menjawab Ahlus Sunnah wal
Jama'ah.'' (Hadis riwayat Abu Daud, at-Tirmidzi, al-Hakim, dan Ahmad).
Banyak ulama berpendapat, Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah mereka yang mengikuti
semua yang berasal dari Nabi SAW, baik perkataan, perbuatan, pengakuan, maupun
hal-hal lain yang dikaitkan dengan pribadi Rasulullah SAW. Itu sebabnya aliran
ini disebut juga Ahlul Hadis was Sunnah (golongan yang berpegang pada hadis dan
sunah).
Siapa dan kelompok manakah yang masuk dalam kategori Ahlus Sunnah wal Jamaah itu?
Mayoritas umat Islam mengaku mempraktikkan sunah-sunah Nabi SAW, namun secara
ideologi dan emosional terikat dengan aliran-aliran yang berbeda.
Untuk menjawab pertanyaan di atas, secara definitif tidaklah mudah. Ada
aspek-aspek yang mesti dilihat sebelum menggolongkan kelompok tertentu sebagai
Ahlus Sunnah atau bukan. Aspek-aspek yang dimaksud adalah sejarah, sosial,
budaya, dan politik.
Mengenai hal ini, ada beberapa alasan. Pertama, ajaran Islam mampu mengubah
lingkungan sosial dan budaya yang berimplikasi pada perubahan pandangan hidup
masyarakatnya. Kedua, dalam proses perubahan dari kondisi lama pada kondisi
baru, terjadi penghayatan terhadap ajaran Islam yang dipengaruhi oleh keadaan
sosial budaya setempat. Setiap masyarakat akan menghayati dan merespons ajaran
Islam dengan cara yang berbeda karena mereka berada di suatu masa dan
lingkungan yang tidak sama.
Itulah mengapa ada Asy'ariyah yang berkembang di Irak, Maturidiyah di
Samarkand, dan Thohawiyah di Mesir. Ketiganya dianggap sebagai Ahlus Sunnah wal
Jama'ah. Pada awalnya, aliran-aliran tersebut muncul untuk merespons realitas
yang sedang dihadapi umat Islam. Ketika itu, ide-ide yang ditawarkan ulama
besar adalah cara pandang baru tentang kehidupan beragama, bukan menawarkan
aliran teologi baru.
Sejarah mencatat, munculnya Asy'ariyah adalah respons terhadap kebijakan
penguasa Dinasti Abbasiyah yang menjadikan Muktazilah sebagai aliran resmi
pemerintah. Pengaruh paham Muktazilah mencapai puncaknya pada masa Khalifah
Al-Ma'mun (198-218 H/813-833 M), Al-Mu'tasim (218-228 H/833-842 M), dan
Al-Wasiq (228-233 H/842-847 M).
Muktazilah terkenal mengagungkan rasionalitas yang sulit diterima oleh
masyarakat awam. Kemudian, Asy'ariyah muncul menawarkan cara pandang baru yang
lebih sederhana dan membumi. Doktrin-doktrinnya didasarkan pada sunah-sunah
Nabi SAW dan tradisi para sahabat.
Sebagai sebuah cara pandang, perbedaan dalam tubuh Asy'ariah pun muncul.
Muhammad Tholhah Hasan dalam bukunya Wawasan Umum Ahlus Sunnah wal Jamaah
menulis bahwa dalam Asy'ariyah, terdapat perbedaan-perbedaan visi.
Visi Abu al-Hasan al-Asy'ari (imam Asy'ariyah) tidak sama dengan
murid-muridnya, seperti Al-Baqillani, Al-Juwaini, Al-Ghozali, dan As-Sanusi.
Padahal, mereka mengklaim dirinya penganut Asy'ari. Demikian pula dalam mazhab
fikih, terdapat perbedaan pandangan dan fatwa antara Imam Syafi'i dan
pengikut-pengikutnya, seperti An-Nawawi, Ar-Rofi'i, Al-Buthi, Al-Qoffal, dan
lain-lain.
Dari manhaj menjadi mazhab
Dalam perjalanan sejarahnya, Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak berhenti pada manhaj
al-fikr (cara pandang) semata, tetapi menjelma menjadi firqoh
(kelompok) yang terorganisasi. Dikatakan demikian karena Ahlus Sunnah wal
Jamaah membentuk suatu doktrin dan mempunyai pengikut yang tetap. Jika
seseorang mengaku sebagai pengikut Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang bersangkutan
harus punya ciri-ciri tertentu dalam keyakinan, sikap, dan perilaku.
Ciri-ciri itu kemudian menjadi pembeda antara penganut Ahlus Sunnah dan
penganut aliran teologi lainnya. Masalah menjadi lebih rumit tatkala
aliran-aliran teologi Ahlus Sunnah wal Jamaah sendiri punya karakter dan
cirinya sendiri-sendiri.
Ada pengikut Ahlus Sunnah wal
Jamaah yang disebut Ahlul Atsar, yaitu mereka yang mengikuti Imam Ahmad bin
Hambal. Mayoritas kelompok ini mengikuti pandangan-pandangan Ibnu Taimiyah dan
Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah. Ada
yang disebut Al-Asya'iroh, yang sekarang menjadi umat Muslim mayoritas di
beberapa negara, termasuk Indonesia.
Ada pula kelompok Ahlus Sunnah ala
Al-Maturidiyah yang terkenal dengan penggunaan rasionalitasnya.
Jika ada orang yang mencari-cari manakah di antara ketiga aliran di atas yang
paling benar, jawabannya tergantung dari aliran manakah orang tersebut berasal.
Jika ia orang Indonesia,
mungkin akan menjawab Al-Asya'iroh-lah yang paling absah sebagai Ahlus Sunnah
wal Jamaah.
Akan tetapi, lebih arif jika umat Islam menyikapi perbedaan itu sebagai rahmat
Allah SWT. Mari, kita biarkan perbedaan-perbedaan aliran teologi dalam Islam
laksana warna-warni bunga yang mekar di tengah taman. Bukankah sebuah taman
jauh lebih indah jika ditumbuhi aneka bunga dibandingkan taman yang hanya
memiliki satu macam bunga? Tidak ada kebenaran, kecuali Allah SWT. dia/rid/sya/
Subscribe to:
Posts (Atom)